Pengertian dan Tipe Relasi Makna Dalam Semantik

 Salam, jika dalam semantik kita sudah pernah membahas baik dalam Linguistik Murni dan Lungistik Terapan, kali ini kita akan membahas mengenai Relasi Makna Dalam Semantik. Semantik merupakan salah satu bagian dari tataran linguistik. 

Ada beberapa pengertian semantik dari para ahli maupun secara asal kata. Menurut Verhaar dalam Pateda (2010:07), semantik merupakan teori makna atau teori arti. Semantik menurut Abdul Chaer Semanti adalah ilmu tentang makna Semantik sebagai istilah yang digunakan pada bidang linguistik yang mempelajari hubungan tanda-tanda linguistik dengan tanda-tanda yang ditandainya. 

Hal itulah yang disepakati mengenai pengertian semantik yang mempelajari hubungan tanda dengan tanda lainnya sehingga mendapat kesimpulan makna secara tepat. Maka dari itu, makalah ini akan membahas mengenai relasi makna. Mengingat relasi makna sendiri mempelajari hubungan kebermaknaan antara sebuah kata atau bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya yang mendukung dalam menerapkan ilmu tentang makna atau biasa disebut semantik.

Pengertian Relasi Makna Dalam Semantik

Pengertian Relasi Makna Dalam Semantik

2.1 Makna dan Masalahnya
 

   2.1.1 Pengertian Makna

Makna adalah gejala yang terjadi di dalam ujuran. Setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini ada;ah unsur dalam bahasa (intralingual) dan unsur luar bahasa (ekstralingual). Makna juga bagian yang tidak dapat terpisahkan dari semantik begitu juga dengan apa saja yang telah kita tuturkan.

Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :.

  • Maksud pembicara;
  • Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
  • Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
  • Cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).

 Menurut Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40) makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.
 

   2.1.2 Informasi 

Informasi adalah gejala luar ujaran. Hal ini berbeda dengan makna yang merupakan gejala dalam ujaran.Parafrasa merupakan rumusan yang sama dalam bentuk ujaran lain. Berikut ini contoh puisi karya Ali Hasym,

Pagiku Hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi

Bait dari puisi tersebut merupakan parafase dari kalimat saya sudah tua karena kalimat dari puisi tersebut meberikan informasi yang sama hanya berbeda cara perumusannya.



    2.1.3 Maksud 

Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk gaya bahasa lain. Selama masih menyakut segi bahasa maka maksud itu masih dapat disebut sebagai persoalan bahasa. Namun jika cakupannya terlalu luas bukanlah persoalan bahasa kemungkinan persoalan bidang yang lain, seperti Filsafat, Psikologi. 

Maksud memiliki persamaan dengan informasi yaitu gejala di luar ujaran dan perbedaan keduanya terletak pada subjek atau objek. Jika Informasi merupakan sesuatu di luar ujaran yang dilihat dari segi objek yang dibicarakan sedangkan maksud dilihat dari subjek yang berbicara.

 

    2.1.4 Tanda, Lambang, Konsep, dan Definisi 

Tanda merupakan hal yang ditandai dan bersifat langsung. Contohnya, Pada pagi hari secerah sinar matahari yang masuk kedalam kamar melalui celah-celah dinding merupakan tanda bahwa hari sudah siang.

Lambang juga merupakan tanda namun tidak memberikan tanda secara langsung.Ogden dan Richard (1871:9) lambang itu bersifat konversian, perjanjian tetapi ia dapat diorganisasikan, direkam dan dikomunikasikan. Jadi untuk dapat mengetahui maksud lambang-lambang itu kita harus mempelajarinya. Contohnya , warna merah melambangkan “keberanian” dan warna putih melambangkan “kesucian”dan pelambangan pada kelima dasar pancasila .

Konsep merupakan hasil dari buah pikiran kita atau ide. Umpamanya kata <kursi> “mewakili”suatu konsep dalam benak kita berupa benda yang bisa digunakan sebagai tempat duduk dengan wujudnya yang sedemikian rupa sehingga nyaman untuk diduduki.

Definisi atau batasan ini memberi rumusan yang lebih teliti mengenai suatu konsep, walaupun definisi itu sendiri seringkali juga banyak kelemahannya.



     2.1.5 Beberapa Kaidah umum 

Kaidah umum yang perlu diperhatikan berkenaan dengan studi semantik. Sebagai berikut,

  • Hubungan antara sebuah kata/leksem dengan rujukan atau acuannya bersifat arbitrer. Dengan kata lain tidak ada hubungan wajib di antara keduanya.
  • Secara sinkronik makna sebuah kata/leksem tidak berubah, secara diakronik ada kemungkinan berubah. Maksudnya, dalam jangka waktu terbatas makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi dalam jangka waktu yang relatif tidak tidak terbatas ada kemungkinan bisa berubah. Namun, bukan berarti setiap kata akan berubah maknanya.
  • Bentuk-bentuk yang berbeda akan berbeda pula maknanya. Maksudnya, kalau ada dua buah kata/leksem yang bentuknya berbeda. Meskipun perbedaannya sedikit, tetapi maknanya pasti akan berbeda. Oleh karena itu, dua buah kata yang disebut bersinonim pasti kesamaan maknanya tidak persis seratus persen. Pasti ada perbedaannya. Secara operasional hal ini dapat dibuktikan. Contohnya kata, kini dan sekarang  adalah dua buah kata yang bersinonim. Tapi kata sekarang  dalam frase bininya yang sekarang tidak dapat diganti dengan kata kini. Konstruksi *bininya yang kini adalah tidak gramatikal.
  • Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri  yang berbeda dengan sistem semantik itu berkaitan erat dengan sistem budaya masyrakat pemakai bahasa itu, sedangkan sistem budaya yang melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama.
  • Makna setiap kata/leksem dalam suatu bahasa sangat diengaruhi oleh pandangan hidup dan sikap anggota masyarajat yang bersangkutan. Contohnya, makna kata babi pada kelompok masyarakat Indonesia yang bukan beragama Islam.
  • Luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatika berbanding terbalik dengan luasnya bentuk tersebut. Sebagai contoh bandingkan bentuk-bentuk:
    • Kereta
    • Kereta api
    • Kereta api ekspres
    • Kereta api ekspres malam
    • Kereta api ekspres malam luar biasa.
       
    Makna kereta pada a sangat luas, dan lebih luas dari b makna kereta b lebih luas daripada c sedangkan c masih lebih luas daripada d dan makna d masih lebih luas dari makna e.

 

2.2  Pengertian Relasi Makna 

Berdasarkan analisis Cruses tahun 2004 bahwa hubungan atau relasi makna adalah hubungan yang tidak kontroversi atau tidak berlawanan, tetapi mengacu pada hubungan apa yang terjadi antara unit-unit makna. Istilah relasi makna adalah bermacam-macam hubungan makna yang terdapat pada sebuah kata atau leksem (Yayat, 2014:35). Oleh karena itu relasi makna merupakan hubungan semanti yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya.

 

Tipe Relasi Makna

2.3 Tipe Relasi Makna

2.3.1 Sinonimi 

2.3.2 Antonimi dan Oposisi 
Verhaar (1978) mendefinisikan antonimi adalah ungkapan (bisa berupa kata, tetapi dapat juga berbentuk frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.Jika dilihat dari asal katanya, antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya nama, dan anti yang artinya melawan. Maka secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain pula. Antonim disebut juga dengan istilah lawan kata, lawan makna atau oposisi. Berdasarkan sifatnya oposisi dapat dibedakan menjadi:
  • 2.3.2.1 Oposisi Mutlak
    Terdapat perlawanan makna yang mutlak. Misalnya antara hidup dengan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup pasti tidak mati, dan sesuatu yang mati pasti tidak hidup.
  • 2.3.2.2 Oposisi Kutub
    Terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata yang bersifat gradasi tersebut. Contoh kaya dan miskin, tingkatannya seperti sangat kaya, cukup kaya,paling miskin.
  • 2.3.2.3 Oposisi Hubungan
    Terjadi karena saling melengkapi kata satu hadir karena ada kata lain yang menjadi oposisinya. Kata beroposisi ini dapat berupa kata kerja dan kata benda. Contohnya pulang-pergi, maju-mundur, ayah-ibu, guru-murid.
  • 2.3.2.4 Oposisi Hierarkial
    Makna kata- kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang tingkatan. Oleh karena itu kata- kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata – kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang dan isi ). Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang.
  • 2.3.2.5 Oposisi Majemuk
    Dalam bahasa Indonesia ada beberapa kata yang beropsisi dengan lebih dari satu kata. Mislanya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, berbaring,berjongkok dsb. Contohnya kata diam beroposisi dengan berbicara, bergerak, dan bekerja. Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai antonim atau oposisi. Contohnya mobil, rumput, monyet dsb.


2.3.3 Homonimi, Homofoni, dan Homografi 

  1.    Homonim
Homonim berasal dari kata homo berarti sama dan nym berarti nama. Homonim merupakan suatu kata yang memiliki makna yang berbeda tetapi lafal atau ejaannya sama.


*) Contoh:

    a. Genting 
  • Pak Rusdi naik ke atap untuk membentulkan genting.
  • Keadaan bertambah genting setelah kedua belah pihak menolak untuk berdamai.

     b.  Bulan 

  • Wulan sedang memandangi bulan.
  • Sudah enak bulan lamanya suami Rita belum juga pulang.


    c.  Beruang
 

  • Andi  melihat beruang di kebun binatang
  • Wawan kini telah menjadi orang yang beruang.

 

  2.    Homofon
Homofon berasal dari kata homo berarti sama  dan foni (phone) berarti bunyi/suara. Homofon merupakan suatu kata dimana lafal/bunyinya sama, namun memiliki tulisan dan arti yang berbeda.
 

*) Contoh:
    a. Bang dengan Bank 

  • Bang Jarwo sedang naik motor.
  • Adit menabung di Bank Syariah Mandiri.


    b. Massa dengan Masa 

  • Polisi kewalahan menghadang massa yang berdemo.
  • Konon pada masa lampau ada dinosurus
 

    c. Tank dengan Tang

  • Para TNI sedang berlatih menggunakan tank.
  • Rudi menjepit paku itu dengan menggunakan tang.

 Anda bisa juga membaca mengenai Homonimm Homofon, Homograf, dan Polisemi dalam Linguistik

 

  3.    Homografi
Homograf berasal dari kata homo yang berarti sama dan graph berati tulisan. Homograf merupakan suatu kata dimana tulisannya sama, namun lafal/bunyi serta arti yang berbeda.
*) Contoh:
a. Apel
•    Toni suka makan buah apel.
Para Guru sedang melakukan apel.
b. Tahu
•    Eko tidak tahu akan masalah itu.
Ima sedang makan tahu.
c. Serang
•    Dwi tinggal di Serang Banten
•    Lukman mengalami kerugian karena sawahnya diserang hama


 

2.3.4 Hiponimi dan Hipernimi 

   1. Hiponimi
Verhaar (1978:137) hiponim adalah ungkapan biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat beupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna  suatu ungkapan lain.
Misalnya gurame adalah hiponim dari ikan. Sebab makna gurame termasuk dalam makna kata ikan. Gurame memang ikan tetapi bukan hanya gurami yang termasuk juga bandeng, tenggiri, salmon, mujair, cakalang, teri, mas dan sebagainya. Hubungan antara gurame, teri, cakalang dan ikan –kan lain disebut hubungan kohiponim. Jadi gurame berkohiponim dengan tenggiri, bandeng dan sebagainya. Hubungan hiponim ini hanya bersifat satu arah, artinya hiponim dari bandeng adalah ikan, tetapi ikan tidak berhiponim dengan bandeng melainkan ikan berhipernim dengan bandeng. 

  2. Hipernimi
Konsep hipernimi adalah kebalikan dari konsep hiponimi. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata  yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi dari sebuah kata merupakan hipernimi dari kata lainnya, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial di atasnya.  Misalnya kata mahluk berhipernim dengan manusia dan binatang tetapi binatang berhipernim juga dengan ikan, kambing, monyet, gajah dan sebagainya, ikan berhipernim juga dengan gurame, tongkol, bandeng dan sebagainya. 




2.3.5 Polisemi Selengkapnya di Polisemi

 

2.3.6 Ambiguitas 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ambiguitas berarti sifat atau hal yang bermakna dua, yakni kemungkinan memiliki dua pengertian yang berbeda sehingga maknanya tidak jelas dana tau tidak tentu. 

Ambiguitas merupakan suatu gelaja yang terjadi akibat adanya tafsiran gramatikal yang berbeda. Pada umumnya tafsiran gramatikal ini terjadi pada bahasa tulis, namun dapat juga terjadi pada bahasa lisan yang disebabka oleh ketidakcermatan dalam menyusun kontruksi beranaforis.

Ambiguitas atau disebut juga ketaksaan sering kali dianggap serupa dengan homonimi. Namun dapat dilihat dari konsep homonimi yaitu dua buah bentuk atau lebih yang kebetulan bentuknya sama, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk yang dengan dua tafsiran makna yang berbeda. Akan tetapi muncul lagi persamaan antara ambiguitas dengan polisemi, yang sama-sama memiliki sebuah bentuk dengan makna lebih dari satu. Dapat dibedakan dengan hanya melihat tataran katanya. 

Polisemi memiliki banyak makna berasal dari ciri atau komponen-komponen makna leksikal yang dimilikinya. Oleh karena itu maknanya masih memiliki hubungan antara satu dengan yang lain. 

Sedangkan ambiguitas adalah satu bentuk ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat perbedaan tafsiran gramatikal.

Contoh ambiguiti:

  • 1.    Buku sejarah baru.
    Dapat diartikan sebagai buku sejarah yang baru terbit, dan dapat juga ditafsirkan sebagai buku yang berisi mengenai sejarah baru,.
  • 2.    Anak Pak Lurah yang nakal
    Dapat diartikan sebagai anaknya itu yang nakal, namun dapat ditafsirkan juga bahwa Pak Lurah yang nakal.
  • 3.    Mereka bertemu paus
    Dapat diartikan bahwa mereka bertemu dengan ikan paus, namun dapat ditafsirkan juga bahwa mereka bertemu dengan pemimpin agama katolik yang ada di Roma.
  • 4.    Dia memang bukan orang kudus
    Kudus dapat diartikan sebagai orang suci namun dapat juga diartikan sebagai kota di Jawa Tengah.
  • 5.    Alyya dan Sekar bersahabat karib. Dia sangat mencintai suaminya
    Pernyataan di atas digunakan sebagai contoh pada  bahasa lisan. Yang memiliki beebrapa makan. Pada kalimat dia sangat mencintai suaminya tidak memiliki kejelasan dia merujuk pada siapa, alyya atau sekar. Lalu suaminya juga bermakna ganda, suami Sekar atau suami Alyya. Sehingga dapat diartikan Sekar mencintai suaminya dana tau Sekar mencintai suami Alyya, dapat juga Alyya mencintai suaminya dana tau Alyya mencintai suami Sekar.

 

2.3.7 Redudansi 

Istilah redundansi dari bahasa Inggris redundancy sedangkan kata redudan dari bahasa Indonesia. Sering dipakai dalam linguistik modern untuk menyatakan bahwa salah satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik. Selain itu, istilah lain dari redudansi juga sering diartikan sebagai “berlebih-lebihan” pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebenarnya tidak ada, sebab salah satu prinsip semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Dalam semantik redudansi merupakan salah satu topik yang sejajar dengan topik lain seperti homonimi, sinonimi, antonimi, polisemi, dan hiponimi. Pengertian redudansi menurut para ahli:

Menurut Carrol (Lubis,1993:150) dalam bukunya yang berjudul The Study of Leaguage mengungkapkan redudansi dalam bahasa adalah “When the averageinformation carried by symbol units is less than the maximum posible under condition of equiprobable and indepandent symbol” yang berarti bila bobot informasi yang dikandung sebuah simbol yang kita ucapkan lebih sedikit atau kurang dari jumlah unsur yang mendukung simbol itu atau dapat juga diartikan bila ada perbedaan antara kapasitas dari sebuah ucapan dengan informasi yang di dukungnya.

Parera (1993: 74) yang mengistilahkan redudansi sebagai kelewahan, yakni derajat kelebihan informasi yang didukung oleh sebuah bahasa atau butir-butir bahasa yang di perlukan agar informasi itu dipahami. Bahasa memang banyak mengandung unsur-unsur yang lewah dalam memberikan informasi yang diperlukan. Jika seseorang mengatakan “banyak buku-buku” bentuk ulang buku-buku dianggap lewah karena kata banyak sudah mengandung makna prural. Penggunaan unsur bahasa yang tidak perlu dalam suatu tuturan atau lisan sebenarnya boleh ditinggalkan atau tidak digunakan sepanjang tidak mengganggu dan mengurangi makna atau informasi yang ingin disampaikan. Dapat diambil kesimpulan bahwa redudansi adalah penggunaan kata-kata yang berlebihan dalam suatu tuturan atau tulisan untuk menyampaikan suatu informasi. 

Adapun fungsi dari redundansi dalam komunikasi menurut Shannon dan Weaver ada dua, yaitu berkaitan dengan masalah teknis dan yang berkaitan dengan perluasan konsep redundansi itu sendiri ke dalam dimensi sosial. Fungsi redundansi apabila di kaitkan dengan masalah teknis, ia dapat membantu untuk mengatasi masalah komunikasi praktis. Masalah ini berhubungan dengan akurasi dan kesalahan dengan saluran dan gangguan dengan sifat pesan, atau dengan khalayak. Contoh dari fungsi tersebut apabila kita ingin mengiklankan produk kita kepada masyarakat konsumen baik melalui media cetak (koran, majalah, atau tabloid) ataupun elektronik (radio dan televisi), maka redudansi berperan pada penciptaan pesan (iklan) yang dapat menarik perhatian, sangat simpel, sederhana, berulang-ulang dan mudah untuk diprediksi (predictable). Selain itu, konsep redudansi juga bisa diperluas hubungannya dengan konvensi dan hubungan realitas sosial masyarakat.

Contoh redundansi: umpamanya kalimat Bola ditendang Si Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan, dan yang sebenarnya tidak perlu. Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi, kalimat Bola ditendang Si Udin berbeda maknanya dengan kalimat Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) dari pada kalimat pertama yang tanpa kata oleh.

Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian kata oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redundans, yang mubazir, karena makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterence-external). Jadi yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya. Jadi kalimat Bola itu ditendang Si Udin adalah lebih efektif dari kalimat Bola itu ditendang oleh Si Udin.

Contoh lain, bentuk gadis itu mengenakan baju berwarna merah dan redudansi dari bentuk gadis itu berbaju merah; inilah obat satu-satunya yang paling mujarab adalah redudansi dari bentuk inilah obat yang paling mujarab. Kalau dilihat dari segi keefektifan kalimat sebagaimana dituntut dalam dalam pelajaran menulis secara baik dan cermat, memang kalimat-kalimat yang redudansi itu sebaiknya tidak digunakan. Gunakanlah kalimat yang lebih hemat dalam pemakaian kata. Jadi, kalimat Gadis itu berbaju merah lebih efektif dari kalimat Gadis itu mengenakan baju berwarna merah. Begitu juga kalimat inilah obat satu-satunya yang paling manjur. 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Chaer, Abdul.2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka         Cipta.
  • Chaer, Abdul.2014. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta
  • Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
  •  Abdul Wahab, 1995:40
  •     Yayat, 2014:35
  •  Verhaar dalam Pateda (2010:07)
  • Verhaar (1978:137)
  •  1Sajak. 2015.” Pengertian Redundasi.” [Tersedia] http://1sajak.blogspot.com/2015/05/pengertian-redundansi.Wednesday, 20 may 2015 diakses pada 9 Maret 2017.






0 komentar:

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.