Perkembangan Kritik Sastra, Ilmu Susastra, dan Tatanan Sastra

Komunitas Penulis - Sejak manusia menciptakan seni mengolah kata, sejak itu pula proses mengapresiasi, membicarakan, memaknai karya sastra diperlukan oleh masyarakat penikmatnya, dengan brbagai pendekatan yang berbeda-beda. Sebagai karya seni yang terkait dengan aspek keindahan dan cita rasa dan sebagai produk yang mempunyai fungsi sosial, karya sastra seperti produk kesenian yang lainnya, merupakan medium yang multidimensi. Kaitan sastra dengan tatanan masyarakat dan kehidupan yang melingkupinya, fungsinya sebagai sarana “membudayakan” atau memberikan pegangan moral untuk masyarakat, kaitannya dengan pikiran dan kehidupan pengarangnya selain perhatian terhadap aspek-aspek estetik karya itu sendiri  merupakan beberapa “orientasi” kritik sastra.

Perkembangan Kritik Sastra, Ilmu Susastra, dan Tatanan Sastra


Perkembangan Sastra


Dalam pertumbuhan masyarakat Eropa, karya sastra klasik merupakan salah satu bagian inti dari pendidikan dasar seorang intelektual, yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu filsafat dan agama. Oleh karenanya, negarawan dan pemuka budaya dari abad ke 17 sampai akhir abad ke- 19 tidak dapat lepas dari acuan terhadap karya sastra, ketika memperbincangkan persoalan-persoalan penting di masanya.

Dalam perkembangan masyarakat modern di Eropa dan Amerika di paruh awal abad ke-20, berkembang pendekatan New Criticism yang menekankan “pembacaan dekat” terhadap teks untuk mengungkapkan kekhasan dan nilai-nilai artistik teks. Hal ini terkait dengan tumbuhnya masyarakat kelas menengah yang hidup di perkotaan. Proses penciptaan karya yang tidak lagi bersifat komunal, melainkan lebih bersifat personal, dan hak cipta individual menjadi basis industri sastra.

Pembacaan dekat untuk mengupas bagaiamana unsur-unsur sastra membangun makna teks menjadi sarana pendidikan sastra di sekolah sampai pendidikan tinggidan menjadi landasan untuk mengevaluasi karya sastra. Pada saat itu pendidikan tinggi bertumpu pada konsep liberal arts, yang menempatkan seni dan humaniora sebagai landasan untuk membentuk masyarakat yang melek budaya.

 Kritikus New Criticism yang dihasilkan dalam masa itu dapat dilihat sebagai saringan artistik yang dibangun dari seni ”berselera tinggi” yang dibedakan dari seni populer yang berorientasi pasar. Intelektual, sastrawan seperti T.S. Eliot dan budayawan Matthew Arnold adalah kritikus besar modernis yang dihasilkan oleh zamannya.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan sejak pertengahan abad ke-20, muncul teori-teori yang membukakan paradigma baru dalam memandang permasalahan dunia, seperti strukturalisme, psikoanalisa, dan marxisme, diikuti oleh teori-teori poststruktural. Teori-teori ini tak pelak menggerakkan roda ilmu pengetahuan dari berbagai cabang, mulai dari ilmu bahasa sampai ilmu politik dan ekonomi.

Dalam perkembangan ilmu tersebut, kesusasteraan tidak lagi sekadar menjadi seni, tetapi telah menjadi suatu cabang ilmu – yang dalam komunitas ilmiah tidak lepas dari tuntutan untuk mempertanggungjawabkan prosedur ilmiah yang teruji. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, dituntut untuk mengambil bagian dari pengembangan ilmu yang menghasilkan teori-teori baru untuk memahami fenomena kebudayaan dan pengetahuan.

Jika pengajaran bahasa merupakan aspek penerapan dari ilmu linguistik, maka kritik sastra untuk mengevaluasi karya sastra bagi pemahaman khalayak umum menjadi sekedar fungsi terapan. Di Eropa dan Amerika, fungsi kritik yang ditulis untuk khalayak yang lebih luas ditopang oleh industri perbukuan dan media masa, lembaga budaya dan sastra pemerintah atau independen dan jaringan komunitas penikmat sastra.

Industri buku sastra di mancanegara telah sedemikian rumit berkembang sehingga di antara pengarang dan pembaca dibutuhkan berbagai profesi antara, yakni: para agen, editor, kopi editor, penata buku, bagian promosi buku, agen tunggal dan distributor, percetakan, dan pengecer, dari yang bagian dari toko buku sampai stan buku dan pengecer buku bekas di emperan, festival buku dan pengarang, organisasi dan komunitas sastra, penulis resensi buku, kolumnis khusus sastra, pewawancara, penulis biografi sastra, organisasi pencinta buku, guru-guru sekolah, kritikus sastra, dan bahkan juga yang berkembang saat ini, penulis-penulis blog.

Pada saat yang sama, ilmu susastra di pendidikan tinggi juga berkembang dalam industri pendidikan dengan sistemnya sendiri, seperti prosiding seminar ilmiah, dan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh universitas dan asoisasi profesi. Jurnal ilmiah terjenjang melalui sistem akreditasi dan diranking, dari tataran yang paling sulit ditembus sampai yang menerima penulis pemula.

Selain itu penulisan skripsi, tesis dan disertasi, yang secara selektif akan masuk ke dunia perbukuan akademik. Industri penerbitan akademik ini memerulukan sumberdaya tersendiri, dari tim editor yang terdiri dari pakar-pakar bidangnya, sampai penerjemah. Jejaring dengan pakar mancanegara dan jejaring dengan asosiasi profesi sejenis merupakan keharusan, karena semakin mendunia jaringan tim pakar, dan masukan artikelnya, semakin tinggi rankingnya.


Perkembangan Kritik Sastra


Sebagai bagian dari dialog ilmiah, kajian sastra akademis tidak lagi berfungsi untuk melakukan apresiasi terhadap karya sastra, melainkan memakai karya sastra sastra dalam dirinya sendiri atau dalam keterkaitannya dengan pembaca, pengarang, serta dunia acuannya sebagai objek ilmu pengetahuan. Kajian akademis bukan mengangkat permasalahan sosial, melainkan permasalahan ilmiah, yang perlu dipecahkan dengan memakai kerangka teoretis tertentu.

Kajian ilmiah diharapkan dapat menempatkan diri dalam dialog dengan temuan dan perbincangan ilmiah yang sudah diawali oleh peneliti sebelumnya, dan membawa wawasan dan teori baru. Semakin tinggi kepakaran pengkajinya (dari strata S1 sampai S3), semakin besar tuntutan, bukan saja untuk mengaplikasikan teori, tetapi untuk menghasilkan teori yang baru atau refleksi kritis pada teori yang ada.

Bersamaan itu, semakin besar pula tuntutan untuk membuka dialog lintas disiplin dengan ilmu-ilmu lainnya. Besarnya tuntutan profesionalisme keilmuan di pendidikan tinggi  dengan kewajiban menerbitkan buku ilmiah setiap tahun untuk mempertahankan posisi sebagai pengajar (dengan sistem tenure, yakni proses rekrutmen staf pengajar dengan percobaan selama bertahun-tahun sebelum diangkat sebagai staf tetap), membuat dosen berkonsentrasi di bidang pengajaran dan penelitian sepenuhnya.

Fenomena dosen dan peneliti sastra yang menjadi: ’intelektual publik’, dan kritikus sastra yang menjadi ‘selebiriti’ budaya dari satu forum publik ke forum publik lainnya, jarang ditemukan. Oleh karenanya, kritik sastra untuk publik yang luas tidak lagi diharapkan datang dari perguruan tinggi seperti pada masa jaya New Criticism.

Sebaliknya, editor majalah budaya dan jurnal budaya terkemukal menempati posisi yang sangat dihormati sebagai “penentu selera” dan kritikus sastra dan budaya. Meskipun demikian, di bidang industri perbukuan, batas antara kritik sastra popular untuk khalayak luas dan kajian akademis ilmiah tidak terlalu tajam, karena khalayak pembaca untuk kedua bidang itu juga telah mengalami persinggungan.

Selain itu genre esai sastra yang kritis dan apresiatis telah secara kuat dikembangkan oleh para kritikus melalui berbagai jenis penerbitan populer. .Dengan demikian terakumulasi pembaca awam yang cukup memiliki wawasan budaya dan latar belakang pendidikan untuk mengikuti perbincangan sastra dalam berbagai tataran. Demikian pula kalangan akademik, yang jumlahnya terbatas, juga merupakan pembaca kritik sastra ilmiah populer, karena kebutuhan yang besar untuk terus mengikuti perkembangan seni dan budaya yang hidup dalam masyakatnya.

Sistem liberal arts yang mendasari pendidikan melek budaya anak sekolah sampai pendidikan tinggi, menjadi landasan pembentukan masyarakat pembaca sastra. Di samping itu, pendidikan tinggi membuka pendidikan gelar (Master of Fine Arts) bagi calon penulis fiksi untuk mendapatkan latihan-latihan intensif dari penulis-penulis mapan yang diundang untuk menjadi dosen tamu di universitas, atau dari dosen yang merangkap sastrawan (di Indonesia kita mengenal Prof. Budi Darma, Ph.D., dan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Porf. Dr. Toeti Heraty).

Lulusan program-program MFA akan disaring oleh pasar dalam proses menjadi penulis-penulis profesional. Proses dimulai dengan mengirimkan tulisan pada jurnal-jurnal sastra dan budaya seperti The New Yorker dan jurnal sastra-budaya yang diterbitkan di kampus-kampus, khusus untuk menampung karya fiksi dan kritik sastra. Sebagian dari lulusan juga terserap menjadi editor dan penulis ulasan dan kritik sastra.

Perlu diperhatikan bahwa industri pendidikan yang memberikan penghasilan layak untuk para pengajarnya pada gilirannya juga menghidupkan industri sastra. Tatanan sastra di negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Eropa juga diperkuat oleh kebijakan pengruangan pajak bagi filantropi seni dan sastra, dan pengayoman oleh lembaga yang mendapat anggaran dari pemerintah seperti NEH (National Endowment for Humanities), yang memberikan tunjangan bagi seniman-seniman terpilih setiap tahunnya untuk berkarya dan memamerkan karyanya.


Tatanan Sastra di Indonesia


Tatanan sastra di Indonesia mempunyai sejarahnya sendiri yang tidak dapat diuraikan secara panjang lebar di sini. Pembentukan Balai Pustaka yang memakai bahasa Melayu Tinggi oleh Hindia Belanda, dan pemisahan sastra populer yang merakyat sebagai ”bacaan liar” adalah salah satu proses pembentukan landasan tersebut.

Dalam proses kemerdekaan, intelektual didikan Belanda yang mempunyai modal melek budaya (dengan penguasaan beberapa bahasa Eropa dan Inggris, Indonesia dan daerah), mewarnai aktifisme politik kebangsaan dengan wawasan sastra yang kuat. Kita dapat menyebutkan Sjahrir, Soekarno, Soedjatmoko, yang siap berdiskusi tentang perkembangan sastra di luar dan dalam negeri.

Institusi pendidikan yang didirikan sejak zaman Belanda, meletakkan dasar pengkajian sastra klasik maupun modern, dan menghasilkan filolog maupun kritikus Indonesia, seperti H.B. Jassin. Pengaruh guru besar Belanda A.Teeuw dalam perkembangan kritik sastra Indonesia selanjutnya tidak dapat diabaikan. Perkembangan ilmu susastra di luar negeri, seperti masuknya strukturalisme dalam kritik sastra Rawamangun, adalah salah satu gejala yang tidak dapat dihindarkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Kontroversi tentang kritik sastra yang dianggap ”memotong-motong” sastra sebagai objek, versus sastra sebagai ”ganzheit” merupakan titik persilangan perkembangan ilmu susastra ke arah profesionalisme keilmuan yang berpisah fungsi dari kritik sastra sebagai pencerahan publik dalam tradisi New Criticism. Perbedaannya dengan yang terjadi di Eropa dan Amerika, pendidikan dasar melek budaya, yang menghasilkan orang-orang seperti Sukarno, Sjahrir dan Sudjatmoko semakin terkikis di masa-masa berikutnya.

Pada masa Orde Baru, penekanan pada ideologi dan reduksi pengajaran sastra sebagai penunjang pelajaran bahasa semakin memperkecil perkembangan masyarakat pembaca yang melek seni budaya. Pada saat yang sama, ilmu susastra dituntut untuk mengikuti perkembangan ilmu menjadi semakin terspesialisasi dalam bidang-bidang akademis profesional, sehingga ruang bagi pencicip selera sastra publik seperti H.B. Jassin tidak lagi dapat diharapkan dari perguruan tinggi. Padahal konteks negara berkembang masih membutuhkan peran pengajar/ilmuwan sebagai intelektual publik yang siap dipanggil berbicara di forum-forum publik.

Sementara itu landasan finansial untuk tatanan sastra di Indonesia belum terbangun sampai sekarang, karena tidak adanya insentif pajak bagi filantropi seni budaya. Jika di luar negeri berbagai yayasan memberikan dukungan untuk pengembangan kepustakaan untuk perluasan wawasan sastra dan budaya publik, kritikus seperti H.B. Jassin, mengeluarkan dana pribadi – dari penghasilan sebagai pegawai negeri yang tidak mencukupi untuk hidup – untuk membangun pusat dokumentasi yang kini menjadi andalan peneliti dalam dan luar negeri.

Satu tonggak dalam tatanan sastra dicapai di tahun 1970an melalui inisiatif Gubernur Jakarta Ali Sadikin, yang mendirikan Dewan Kesenian Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta. Pengayoman sastra generasi muda melalui gelanggang-gelanggang sastra dan berbagai lomba, termasuk dukungan terhadap Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, sempat menghasilkan suasana yang bergairah dan dinamis dalam kehidupan sastra. Penjurian merupakan hasil terapan kritik sastra, dan pementasan merupakan sarana pembentukan masyarakat pendukung sastra.

Namun sistem pengayoman itu semakin menyusut dengan bergantinya pejabat, dan peran pemerintah belum menonjol dalam penguatan tatanan sastra yang ada. Beberapa konsekuensi muncul dari sistem sastra semacam ini. Di satu pihak pengembangan penelitian ilmiah di bidang sastra dari ilmuwan Indonesia menjadi sangat terbatas, masih belum mampu berdialog dengan pakar-pakar mancanegara yang membangun pengetahuan tentang sastra Indonesia melalui program- program studi dan pusat kajian kawasan Asia, Asia tenggara, dan Indonesia.

Pada saat yang sama, fungsi kritik sastra untuk membangun apresiasi publik belum mendapatkan suplai yang memadai dari segmen masyarakat yang melek budaya. Komunitas-komunitas sastra yang berkembang dari tahun 1970an di Jakarta dan di berbagai pelosok Indonesia berusaha memenuhi kebutuhan kritik, apresiasi, diskusi publik, sayembara, festival dan penyaluran ekspresi sastra dan budaya dengan menghimpun berbagai sumberdaya. Majalah Horison melalui inisiatif penyair Taufik Ismail melakukan kegiatan apresiasi sastra di kalangan pelajar sekolah menengah.

Di tengah kesenjangan antara perkembangan ilmu susastra secara akademik dan minimnya kritik sastra untuk publik yang lebih luas, kecenderungan para pakar untuk memamerkan jargon-jargon teori yang rumit dalam koran-koran dan media massa cenderung mengasingkan pembaca umum dan sastrawan, dan membangkitkan keluhan tentang relevansi kritik akademik bagi apresiasi sastra. Kondisi semacam inilah yang melandasi munculnya keluhan-keluhan tentang ”krisis kritik sastra” dari masa ke masa.


Demikian sekilas mengenai Perkembangan Kritik Sastra, Ilmu Susastra, dan Tatanan Sastra. Semoga membawa manfaat.




Sumber Referensi:
  • Harold Augenbraum, “The Metaphysics of the American Literary Industry”
  • Beberapa pengetahuan tentang perkembangan sastra tanah air

0 komentar:

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.