Antara Sastra dan Korupsi

Komunitas Penulis - Krisis moral kini benar-benar nyata di tengah dan mengepung bangsa ini. Tiap hari kita disuguhi berita korupsi dan sejumlah mafia hukum yang kelewat batas. Alur dan konfliknya nyaris menyamai sebuah fiksi; seorang pegawai golongan III A bisa melumpuhkan tatanan birokrasi penegak hukum teratas dengan sangat mudah. Aparat penegak hukum diadili. Satgas Mafia diawasi. Tim penyelidik diselidiki, dan seterusnya, seakan tak ada habisnya. Belum lagi kasus Pilkada dengan gonjang-ganjing korupsi dan manipulasi, kasus korupsi anggota dewan dan lain sebagainya, yang selalu saja susul-menyusul.


Antara Sastra dan Korupsi


Mengapa seolah-olah bangsa ini, dari tahun ke tahun, tidak pernah sadar dan sesegera mungkin menyembuhkan sakitnya? Justru sebaliknya, bangsa ini makin dijangkiti virus yang ‘melumpuhkan' itu. Apa sesungguhnya yang salah dari sistem pendidikan bangsa ini, sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin yang sangat amoral?

Barangkali benar, dunia pendidikan bukan satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab atas kondisi bangsa yang sudah sedemikian rapuh ini. Namun, mau tidak mau sebuah teori mengatakan bahwa hanya melalui pendidikanlah watak masyarakat dan sebuah peradaban bisa terbentuk. Bahkan disebut-sebut sebagai agen of change. Dari institusi pendidikanlah, kita berharap dapat membentuk manusia-manusia yang anti korupsi, berjiwa luhur, berperikemanusiaan, tidak merampas hak orang lain dan jujur. Pendek kata, institusi pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan pada setiap manusia.

Maraknya kasus korupsi di segala lini (juga dekadensi moral lainnya) di negeri ini, agaknya tidak terlepas dari (dengan) rendahnya apresiasi sastra (juga karya seni lainnya) di negeri ini. Mengapa demikian? Karena sastra mengasah rasa, mengolah budi, dan memekakan pikiran. Bukankah itu cikal bakal moral? Dan dimensi moral ini erat kaitannya dengan dimensi watak. Karena sastra juga mengajarkan kehidupan dari sisi yang berbeda, ketika orang mulai bosan dengan doktrin-doktrin hitam-putih, maka sastra dapat menjadi solusi untuk tetap menanamkan budi pekerti yang luhur pada generasi bangsa. Oleh karenanya, seorang tokoh legendaris Umar ibn Khattab, pernah mengatakan dengan tegas: "Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani."

Perkataan Umar itu tak berlebihan, sebab di dalam sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran universal. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk bercermin secara telanjang, dan tentu saja setelah itu berbuat sesuatu. Apalagi jika pembacanya adalah anak didik yang fantasinya baru berkembang dan menerima segala macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak. Menurut Abdul Wachid B.S. dalam bukunya “Sastra Pencerahan” (2005) bahwa sastra berfungsi sebagai media perlawanan terhadap slogan omong-kosong dan ketidak jujuran dalam masyarakat. Menurut Thaha Husain (Tokoh Pendidikan Mesir) dalam kitabnya Madhal ila Adab Jahiliyah, menyebutkan bahwa semua kitab suci adalah karya sastra, sebab selain unsur estetik-bahasanya, lebih dari sepertiga isi kitab suci adalah penuturan kisah yang mempunyai plot dan alur mengejutkan. Karenanya bagi Thaha Husain mengajarkan sastra kepada anak juga secara otomatis mengajarkan nilai-nilai kitab suci.

Namun apa yang terjadi dengan pendidikan kita? Sebuah ironis, hampir semua praktisi pendidik negeri ini hanya berlomba-lomba cenderung memprioritaskan anak didiknya misalnya hanya pandai belajar berhitung, berbahasa asing dan sains, tanpa mempedulikan sastra sebagai bagian pelajaran yang penting. Bukti konkritnya, sampai saat ini tujuan pengajaran sastra di sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah belum pernah tercapai, karena porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru sastra yang mumpuni di sekolah-sekolah juga sangat terbatas. Begitupun dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal.

Bahkan penyair senior, Taufiq Ismail mengatakan, siswa SMU Indonesia tidak satu pun ada buku wajib sastra yang dibaca. Artinya, siswa SMU kita itu nol judul. Bandingkan dengan negara lain yang buku sastra wajib bacanya berkisar 5 hingga 32 judul buku, misalnya betapa siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand telah akrab dengan novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan-sastrawan besar dunia lainnya, sedangkan siswa-siswa di Indonesia justru hanya sedikit yang mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang berasal dari negaranya sendiri.

Bandingkan lagi, jika kita merunut pada masa silam, di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra 25 judul bagi AMS Hindia Belanda-A dan 15 judul bagi AMS Hindia Belanda-B. Dan sekarang? Jelas tidak lagi penurunan, tapi hampir saja peniadaan! Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini. Barangkali inilah salah satu penyebab mengapa di negeri ini berjubalnya para koruptor di segala lini kehidupan.

Pengajaran sastra tidak saja membentuk watak dan moral, tetapi juga memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dalam semua aspek. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat diasah. Siswa tak hanya terlatih untuk membaca saja, tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai yang luhur. Bukankah dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, intuisi, dan nilai-nilai? Jadi, kini kita bisa menuduh dengan tegas, bahwa kurikulum pendidikanlah yang menjadi faktor utama para koroptor ini mati satu tumbuh seribu.

Khazanah Sastra


Tak diragukan lagi, negeri ini pernah mempunyai peradaban yang cukup tinggi, terbukti dengan kekayaan dan keanekaragaman khazanah budaya. Dalam waktu yang cukup lama, berkembang dan terpelihara pada setiap generasi hingga saat ini atau bahkan mungkin sampai waktu yang tidak dibatasi. Rekaman budaya Indonesia dapat dilihat dari berbagai peninggalannya, baik yang berupa bangunan fisik (candi, bangunan kuno, prasasti), karya seni (sastra), maupun norma-norma konvensional yang hidup di masyarakat. Semua itu menunjukkan bahwa kita pernah berjaya dan berhasil membangun sebuah peradaban yang sangat luhur.

Dari berbagai macam warisan adi luhung tersebut, karya sastralah yang merupakan warisan maha luhung, karena dalam sastra memuat hampir seluruh segi kehidupan serta mencerminkan situasi sosial budaya pada saat naskah diciptakan. Di dalamnya terkandung informasi yang sangat dibutuhkan di kehidupan sekarang dan digunakan sebagai sarana refleksi bagi masa mendatang. Karya sastra adalah salah satu peninggalan budaya nenek moyang yang menyimpan berbagai segi kehidupan.

Semua karya yang dihasilkan oleh pujangga masa lalu mengandung ajaran-ajaran kearifan hidup dan moralitas yang luar biasa, seperti yang terefleksikan dan termanifestasikan dalam bentuk tembang, serat, suluk, cerita kantrung, prosa, pantun, gurindam dan syair. Sastra pada masa kejayaan, kala itu tidak saja dijadikan sebagai media pencerahan batin dan moralitas, tetapi juga dijadikan alat yang mujarab untuk proses bersosialisasi; berdiri sama tinggi duduk sama rendah. itu semua tercermin dalam karya adiluhung mereka, seperti yang tersirat dalam Pappangajana Abdul Bada, I La Galigo, Dua Belas Gurindam, Serat Centini, Serat Wedhatama, Serat Pepali Ki Ageng Selo, Serat Wulung Dharma dan lain sebagainya.

Warisan karya sastra adi luhung itu menjadi kekayaan yang luar biasa bagi kita sebagai bangsa. Sekarang jika kita meyakini bahwa dengan karya sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral, apa salahnya jika kita mengevaluasi sekali lagi sistem pendidikan kita? Atau kita biarkan generasi muda tak mengenal sastra dan kita biarkan kelak mereka menjadi koruptor lagi? Entahlah.

Salam Nektarity

1 komentar:

Jago Nulis mengatakan...

Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani."

saya catat ini untuk saya terapkan kepada anak saya, Mas. Keren :)

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.