Teori Realisme Sosialis Dalam Aliran Karya Sastra

Komunitas Penulis - Maraknya aliran Realisme Sosial yang dipakai Pramoedya, menyebabkan aliran ini banyak disukai para sastrawan muda. kali ini kami mencoba mengenalkan mengenai Aliran Realisme Sosialis dan Juga Teori Aliran Realisme Sosialis yang semoga bisa membantu anda dalam memahami atau ingin mencoba pada aliran ini.

Realisme adalah aliran kesastraan yang menjadi bagian penting dalam sastra naratif pada abad ke-19. Aliran Realisme ini berusaha memberikan gambaran mengenai pengamatan dunia semata. Khususnya dalam kurun waktu 1830-1880. Istilah realisme pertama digunakan dalam majalah (mercure francais du XIX siecle) pada tahun 1826. Disitu realisme digambarkan sebagai “peniruan bukan dari karya seni tradisi melainkan peniruan dari aslinya yang di sajikan oleh alam”. Sebaliknya ciri khas realisme abat ke-19 adalah keinginan untuk mengambarkan secara serius masalah, hubungan, serta kejadian sehari-hari dan melukiskan manusia dalam semua kedudukan sosial.

Aliran Realisme Sosialis


Penulis realistik berusaha memberi informasi objektif tentang kenyataan pada jamannya atau bsia juga mengenai masa lalu dari jaman tersebut. Inilah yang merupakan kenyataan yang dikonstruksikan dan bergantung pada sudut pandang pengarang tentang kenyataan, pilihan tokohnya dan sebagainya. Dunia dalam novel realistik ingin disajikan sebagai dunia nyata yang koheren. Seperti ciri khas roman di abad ke-19 sebagai roman tentang konflik antara nilai individu dan nilai kolektif yang biasanya digambarkan sebagai individu yang akhirnya dikalahkan oleh nilai-nilai serta kepentingan kelas menengah kolektif.


TEORI REALISME SOSIAL


Sebelum kita membahas tentang teori realisme sosialis tidak ada salah nya kita mengetahui sedikit konsep tentang teori mimesis karena teori realisme sosialis adalah “revolusinya teori mimesis” karena itulah ada sedikit kesamaan antara teori mimesis dengan teori realisme sosialis, mimesis memandang karya seni sebagai tiruan atau pembayangan dari dunia nyata “seni hanyalah tiruan dari alam” konsep ini di kemukakan oleh plato sedangkan aris totals menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni adalan aktifitas manusia dengan proses pembelajarannya yang di hasilkan karena adanya daya kreasi dalam menggapai realita.

Realitas bagi plato adalah sumber dari segala tampilan, karena tanpa mengetahui realitas mustahil seorang seniman mampu menciptakan karya yang benar, realitas adalah pengetahuan sejati tentang sesuatu atau benda.Seperti halnya ajaran pemikiran lain, aliran realisme ini mempunyai persoalan historis dalam konsepsi dasarnya. Ia menjadi antitesis dari paham idealisme yang hanya cukup mendasarkan diri pada persoalan idea. Dalam tataran filosofis, Obyek yang di pandang paham idealisme hanya ada dalam akal budi maka sebaliknya kaum realis berpandangan bahwa obyek presepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada ada terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya.

Realisme sosial adalah salah satu paham/aliran sastra yang cukup kuat mendominasi di Eropa Barat khususnya ketika rezim sosialis menempati posisi kekuasaan. Aliran ini cukup mempunyai konstribusi yang besar terhadap kasanah sastra dunia. Namun hingga kini banyak orang yang kurang suka membicarakannya. Hal ini punya alasan yang cukup kuat mengingat kebanyakan para sastrawan masih banyak yang berpaham netral dan anti partisan terhadap segala macam bentuk kekuasaan. Lebih-lebih ketika realisme sosialis pernah mengalami sejarah buruk ketika berada dalam genggaman kekuasaan Stalin di rusia selama beberapa dekade.

Kritik sastra marxis berdasarkan filsafat Marx, khususnya teorinya mengenai materialisme. Menurut marx  susunan masyarakat dalam bidang ekonomi, yang dinamakan bangunan bawah, menentukan kehidupan sosial,politik, intelektual dan kultural bangunan atas. Sejarah di pandangnya sebagai suatu perkembangan terus menerus, daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif  mereka dan ini semua menuju masyarakat yang ideal tanpa kelas.

Evolusi yang diharapkan tidak berjalan dengan halus tetapi berjalan tersendat sendat hubungan-hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas yang saling bermusuhan, ini mengakibatkan pertentangan  kelas yang ahirnya di menangkan oleh kelas tertentu. Dalam teori ekonominya marx menerangkan bagaimana pertentangan antara kaum borjuis dan proletar bisa membawa revolusi yang bisa  menghancurkan sistem kapitalis, kaum proletar  yang jaya akan melaksanakan masyaraka tanpa kelas. Perubahan dalam bangunan bawah  mengakibatkan perubahan dalam bagunan atas. Bagi mark,sastra sama dengan gejala-gejala kebudayaan lainnya mencerminkan hubungan ekonomi, sebuah karya sastra hanya dapat di mengerti kalau itu dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut.

Lenin dapat di pandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra marxis. Ia menulis lebih banyak daripada marxis tentang masalah-masalah teoritis yang berkaitan dengan sastra dan mengembangkan suatu misi yang jelas tentang sastra.

Dalam sebuah karangan yang di tulis pada tahun 1905 Lenin memaparkan apa yang di harapkan dari sastra. Tulisan itu berjudul “organisasi partai dan sastra partai”, dalam karangan tersebut lenin meneropong tulisanya dari sudut pandang jurnalis dan publistik. Dalam karangan itu lenin mengutarakan pengertian mengenai “ikatan partai” yang menerapkan tiga sarat bagi sastra:
1.  Sastra harus mempunyai suatu fungsi sosial.
2.  Sastra harus mengabdi kepada rakyat banyak.
3.  Sastra harus merupakan suatu bagian dalam kegiatanpartai komunis.

Dengan demikian sastra dijadikan suatu bagian didalam mekanisme sosial-demokratik, yang digerakkan oleh gugus depan segenap kelompok ”kelas” kaum pekerja yang sadar akan politik, sebuan unsur organik dan sebuah senjata ampuh di dalam perjuangan sosialistic.

Aliran realisme sosialis, sesuai dengan pandangan lenin, mengandaikan adanya suatu hubungan dialektik antara sastra dan kenyataan. Dari satu pihak kenyataan tercermin dalam sastra sehingga sastra di anggap menyajikan suatu tafsiran yang tepat mengenai hubungan-hubungan di dalam masyarakat(realisme), di lain pihak sastra juga mempengaruhi kenyataan sehingga mempunyai tugas mendampingi partai komunis dalam perjuangan membagun suatu masyarakat baru yang lebih baik (sosialistik), jan van luxembrug mikel bal dan willem g weststeijin (1982:26) berpendapat “realisme sosialis menuntut dari para pengarang agar melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusionernya, selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Selain itu pelukisan yang barsifat artistik itu hendaknya di gabungkan dengan tugas mendidik kaum buruh sesuai dengan semangat komunis”.


Teori Realisme Sosialis

Realisme sosialis di indonesia


Realisme sosialis –dan sastra lain yang berbau politis dan memihak—kemudian sering direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi dipandang sebagai gagasan kreativitas yang humanis. Hal ini tidak terjadi di Eropa saja melainkan di Indonesia dimana para seniman realisme sosialis seperti Pramoedya Ananta Toer dkk memang pernah terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang punya masalah historis. Agar reduksi yang menjerus pada sikap subyektifisme/sentimen berlebihan ini bisa jernih maka perlulah kiranya di telaah lebih mendasar dan ilmiah tanpa perlu berprasangka buruk terhadap aliran ini.

Seperti halnya ajaran pemikiran lain, aliran realisme ini mempunyai persoalan historis dalam konsepsi dasarnya. Ia menjadi antitesis dari paham idealisme yang hanya cukup mendasarkan diri pada persoalan idea. Dalam tataran filosofis, Obyek yang di pandang paham idealisme hanya ada dalam akal budi maka sebaliknya kaum realis berpandangan bahwa obyek presepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada ada terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya.

Alasan yang paling menonjol dalam hal ini adalah bahwasanya obyek itu dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat filsafat. Secara bahasa realis ini bertitik tolak dari kata latin yang mempunyai arti sungguh-sungguh, nyata benar adanya. Sebagai aliran etis realisme ini mengakui adanya faktor etis yang dialami, entah itu berkaitan dengan hidup, perilaku, dan perbuatan konkret, terlepas dari indra dan budi yang mengerti.

Selaras dengan pendiriannya tentang yang ada, dalam prinsip etis dan mengejar cita-cita etis, realisme menyesuaikan dengan hidup nyata. Artinya ia menolak paham yang hanya berpegang pada prinsip etis dengan alasan tidak mungkin dilaksanakan (tidak realistis) Dalam setiap melaksanakan prinsip dan cita-cita etisnya paham ini selalu memperhitungkan semua faktor; situasi, kondisi, keadaan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan orang-orang yang terlibat.

Namun setidaknya sastra realisme rosialis pernah punya rumusan yang cukup valid. Apa yang diungkapkan oleh Fokkema D.W dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku Teori Sastra Abad Keduapuluh (Gramedia;1998) setidaknya mengambarkan rumusan konkret tersebut. Mereka berdua menuliskan kriteria dalam tiga dasar pokok:

1) kriteria penafsiran determinisme ekonomi yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra mengambarkan perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan
ekonomi;

 2)kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan kode sastra pada zamannya; dan

3) kriteria (selera) pribadi, misalnya tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daftar kesustraan pada zamannya.

 Secara general realisme sosialis menginginkan keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus di nyatakan sebagai mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus di sandarkan pada konteks kondisi obyektif. Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah semangat ideologi terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat). Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer.

Karena persoalan komitmen dan keberpihakan inilah yang kemudian sering dikatakan oleh berbagai macam sastrawan idealis-borjuistik dengan klaim bahwa sastra marxis lebih mengutamakan visi politik (kepentinganya) dari pada mengutamakan netralitas dan kebebasan ekspresinya. Realisme sosialis yang paling dominan memang tidak mengelak dari persoalan ini. Aturan garis ini memang terkesan menjurus dalam satu format ideologi kepentingan partai.

Pramudya ananta toer dan menurut kubu Lekra, meletakkan “kenyataan dan kebenaran” yang lahir dari “pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia” sebagai dasar material kesenian. Dari situ, akan terlihat sejumlah gerak maju dan “hari depan” manusia. Dengan demikian, berlaku kesimpulan bahwa “seni untuk rakyat”.

Di Indonesia, realisme sosialis dikembangkan oleh Lekra atas dasar keberpihakan kepada rakyat daripada atas logika marxisme. Kedekatan realisme sosialis dengan marxisme terletak pada semangat, kesamaan perjuangan, dan pilihan hidup. Tidak terbukti bahwa hubungan keduanya merupakan hubungan organisatoris meskipun banyak anggota Lekra juga anggota PKI (h.20 buku “Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis“).


Kalau kita tengok lebih jauh pada dasarnya kemunculan aliran ini bukan berdiri sendiri. Ia terkait dengan konsepsi dasar filosofis materialisme dialektik dan materialisme historis (marxisme) yang digagas oleh Karl Marx dan Fedrik Engels. Walaupun orang seperti Pramudya mengaku tidak pernah belajar Marxis, namun berbagai karya sastra baik dalam bentuk novel, cerpen maupun romannya membuktikan keterkaitan tersebut. Apa sebenarnya dasar filosofi Marxis yang mempengaruhi sastra ini?

Pertanyaan ini adalah suatu pertanyaan mendasar berkaitan dasar teoritik marxisme dalam segala bidang. Dalam meninjau hubungan struktur masyarakat Marx berpandangan bahwa ada dua strata sosial yang ada dalam setiap zaman, yakni basis-struktur (struktur dasar) dan supra-struktur (struktur atas). Dalam hal ini filsafat marxis menempatkan ekonomi sebagai struktur yang secara urgen mempengaruhi bidang-bidang lain dalam bidang suprastruktur seperti, pemikiran, politik, agama, dan kebudayaan. Seluruh komponen suprastruktur berubah atau tidaknya akan sangat di tentukan dari dari corak produksi ekonomi sebuah masyarakat.

Karena persoalan komitmen dan keberpihakan inilah yang kemudian sering dikatakan oleh berbagai macam sastrawan idealis-borjuistik dengan klaim bahwa sastra marxis lebih mengutamakan visi politik (kepentinganya) dari pada mengutamakan netralitas dan kebebasan ekspresinya. Realisme sosialis yang paling dominan memang tidak mengelak dari persoalan ini. Aturan garis ini memang terkesan menjurus dalam satu format ideologi kepentingan partai.

 Sastrawan kita lebih banyak yang sering mengkritik aliran ini secara vulgar tanpa pertimbangan basis teoritik yang memadai. Kalaupun ada yang berkeinginan mempraktekkan aliran ini di negara kita, kendala-kendala yang muncul tentulah tidak sedikit. Selain dari halangan yang muncul dari pihak luar yang berupa intrik, teror dan sikap sinis terhadap aliran ini, di kalangan penganutnya-pun sering terjadi kontradiksi yang menjurus pada sikap-sikap ideologis.

Di luar itu sebenarnya masyarakat kita membutuhkan aliran ini sebagai pelengkap keragaman yang telah ada. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan situasi makro –dimana rakyat membutuhkan komponen perubahan transformasi sosial—maka realisme sosialis rasanya penting di jadikan sebagai salah satu aktivis gerakan yang menginginkan tegaknya keadilan dan demokrasi.

Baca Juga Teori Ontologi Sastra

 Demikian sedikit tentang Realisme Sosialis yang coba kami himpun dari beberapa referensi, mohon pencerahan jika ada kekeliruan. Salam Sastra.


1 komentar:

Oktavian Kasih mengatakan...

Mohon disertakan referensi juga ya min. Supaya mahasiswa juga bisa mencari rujukan tersebut dan memahami lebih mendalam. :)

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.