Review Buku Puisigrafi PER[T]EMPU[R]AN - Lenang Manggala

Komunitas Penulis - PER[T]EMPU[R]AN - Sebuah buku kumpulan puisi yang saya katakan cukup unik karya Lenang Manggala yang diterbitkan oleh Kekata Publisher di awal Tahun 2016. Buku setebal 169 halaman ini secara dominan menggambarkan(bukan menceritakan) obrolan dua sejoli yang berbicara tentang kehidupan dari sudut pandang masing-masing. Dalam buku ini bertabur banyak ilustrasi dari seorang fotografer perempuan asal Spanyol, Marien Gadea.

Kenapa saya katakan unik? Ada beberapa poin yang bisa menjadi keunikan buku ini. Pertama, buku ini disusun oleh dua orang yang memiliki latar belakang berbeda, penyair dan fotografer. Keunikan kedua, masih seputar penulis, bahwa kedua penyusun buku ini berasal dari dua negara berbeda, Lenang Manggala berasal dari Indonesia yang adalah hal ini sebagai penyair, dan Marien Gadea yang menjadi ilustrator berasal dari Spanyol. Bisa dibayangkan kombinasi yang membuat nilai buku ini lebih dari sekedar buku kumpulan puisi. Ketiga, ternyata setelah saya membaca, ada keunikan yang saya temukan lagi. Nah inilah yang menurut saya kekuatan dari buku ini. Bahwa puisi dalam buku semuanya memiliki keterkaitan dari awal sampai akhir dan disambungkan melalui cerita-cerita renyah dalam obrolan ringan namun berbobot. Sebuah keterkaitan puisi satu sama lain yang dikuatkan oleh cerita penuh makna sehingga buku ini meskipun puisinya tergolong berat, namun mudah dicerna dengan pengantar cerita yang digambarkan melalui kisah berdialog.

Review Buku

Sealbum Puisigrafi 

PER[T]EMPU[R]AN



Di dalam puisi-puisinya, Lenang Manggala tetaplah memunculkan ciri khasnya yang lihai dalam memilih kata dan kalimat. Di beberapa cerita pengantar, banyak bertaburan kalimat yang masih terasa kental seperti sebuah syair dalam setiap percakapan.  Secara umum, puisi dan cerita yang terbentuk masih seputar romantika dalam sebuah kehidupan dan hubungan. Sesuai dengan judulnya PER[T]EMPU[R]AN. Kalau boleh mengartikan, judul ini seolah ingin memberitahukan bahwa dalam buku ini terjadi sebuah 'Pertempuran' terhadap 'Perempuan'. Puisi-puisi yang ada di dalam buku ini interpretasi bisa dibilang lebih dari hanya sekedar intertekstual atau antartekstual saja melainkan juga melibatkan sudut pandang perempuan dalam sebuah hubungan sehingga siapapun pembacanya baik laki-laki atau perempuan akan menemukan dunianya sendiri ketika  menganalisis dari masing-masing puisi yang ada.

Penulis —atau lebih tepatnya penyair dalam buku ini secara totalitas merepresi kegelisahan lalu mengemasnya dalam puisi-puisi yang melaju menuju titik puncak neurotik untuk menjadi individu yang sesungguhnya. Penulis mencoba memaparkan perspektif dari kaca mata perempuan dalam konteks emosional dan egoistis yang banyak dirasakan oleh perempuan-perempuan indonesia. Selain itu, dari sudut pandang kaum Adam, buku ini mengajarkan untuk menghormati dan mengerti bagaimana keinginan, kebutuhan, dan kelemahan dari seorang wanita.

Meskipun dalam tiap puisi satu ke puisi lain yang dihubungkan melalui cerita, namun uniknya puisi ini memiliki citraan-citraan dengan tingkat diferensiasi yang renggang antara tiap puisinya. Jadi buku ini tak sekedar kumpulan puisi yang berputar-putar dalam satu wadah kecil saja. Misalnya saja salah satu puisinya dan penghubung ceritanya :

GADIS KECIL DENGAN PAYUNG HITAM BERDIRI DI BAHU JALAN

Gadis kecil dengan payung hitam,
berdiri di bahu jalan

Matanya raut sedih
Ada duka yang coba
ditanak hingga mendidih

Gerimis sudah lama reda
Payung hitam masih
menjulang di tangannya

Badannya kuyup
Terdengar orkestra kelengangan
sayup-sayup.

Ditengoknya kancing bajunya
yang terbuka

Ada luka nganga
di tanah kelahirannya


“Dasar pembual! Ini kan masih hujan deras. Di situ tadi kau bilang gerimis sudah lama reda,” katanya sepersekian detik usai kubacakan puisiku yang pertama, sambil dengan cekatan memalingkan wajahnya.

“Hei! Ini kan puisi! Bukan headline koran hari ini!” kataku, dengan begitu tidak terima dan tidak bisa mengerti dengan apa yang ada di pikirannya. 

“Hahahahahahahahahahahaha,” tawanya meledak. Seperti sebuah kehangatan yang datang di antara dinginnya hujan yang begitu teramat mendadak. 

“Santai aja dong. Mukanya nggak usah kayak gitu. Aku cuma bercanda. Hahahahahaha,” katanya ringan. Tapi kurasakan ini seperti sebuah tonjokkan. Tepat di wajahku yang turut kuyup tertampar hujan. Kukira dia, maaf, bodoh, karena tak mengerti bahwa puisi adalah sebuah fiksi. Ternyata justru aku yang terbukti bodoh dalam kasus ini. 

“Eh, ngomong-ngomong, kenapa dengan gadis kecil itu?” tanyanya dengan raut wajah yang mendadak serius. Aku tersentak. Pikiranku sempat terserak. Sejenak aku terdiam, puisi tadi kubaca ulang.

“Emmmmh. Entahlah. Puisi itu kutulis bulan Mei yang lalu. Di bulan itu, banyak sekali hal buruk yang terjadi di tahun-tahun yang telah lalu. Tapi asal kau tahu, jika hal buruk yang terjadi bertahun-tahun yang lalu itu, tidak segera diselesaikan, ini akan terus berimbas hingga di masa-masa yang akan datang. Dalam pandanganku, ini adalah luka yang luar biasa bagi siapapun, selama belum terselesaikannya kasus itu. Dan,” 

“Ah. Sudah-sudah. Nanti kau malah ikut dihilang-kan juga. Nanti siapa dong yang membacakanku puisi? Hahahaha,” katanya renyah setengah menggoda. Dengan terpaksa, kutahan beberapa penjelasan yang sebenarnya sangat ingin kusampaikan padanya.

“Ayolaaah. Aku ini perempuan biasa, yang suka belanja, dan hanya sesekali memesan kopi sambil merokok sampai jam tiga pagi. Aku bukan Marsinah yang mau ngotot menegakkan keadilan. Sama sekali tidak demikian. Apa kau tak bisa membacakan puisi yang lebih ringan dan cocok untuk seorang perempuan cantik yang sedang kedinginan?”


Apa yang tersirat diatas dari puisi hingga isi dialog dalam ceritanya seolah ada mekanisme dimana si penyair ingin mencoba untuk mendistorsikan sebuah kesedihan dalam puisi menuju kegembiraan. Karena puisi selanjutnya berbunyi begini :

MENIKAM MATAMU 

Hai, gadisku yang ranum 
bergincu. 
Bolehkah aku menikam 
matamu, andai rinduku 
tak mampu lagi mengusik tidurmu?

Bukankah bukan kamu 
atau Tuhanmu yang memiliki matamu? 

Tetapi aku. 
Aku yang menemukan matamu. 
Aku yang menamai matamu. 
Sedang kau dan Tuhan 
sibuk dengan urusan masing-masing, 
akulah yang bersedia menatap 
matamu dalam rentang waktu 
paling sering. 

Banyak orang berkata, 
telapak kaki ibu 
adalah tempat bersemayamnya 
surga. 
Itu lagu lama, kukira. 

Surga, kukira, 
kadangkala juga 
bersemayam di tempat-tempat 
baru. 

Di senyummu. Jemarimu. 
Kadang juga terselip 
di antara jejak lincah 
kedua kakimu. 

Tapi, tetap saja. 
Di matamulah surga 
bersemayam dalam 
kurun waktu paling lama.


Antara puisi pertama yang benar-benar menggambarkan kesedihan, melalui cerita penghubungnya mampu membawa pengaruh emosional yang dirasakan akan lebih bahagia. Namun, di sisi lain, si penyair ingin memfungsikan untuk menjadi sepenuhnya memberikan penghargaan positif dari keambivalensian antara kenyataan dan keidealan dalam dirinya.

Di puisi selanjutnya, pun tak jauh beda. Bagaimana mereduksi sebuah kenangan, penantian, perjalanan, juga perjuangan yang membawa katarsis jiwa untuk menstimulus diri. Keindahan-keindahan puisi ini semakin sempurna dengan ilustrasi fotografi yang disajikan oleh Marien Gadea seorang fotografer dari Spanyol.

Ya, buku ini saya rekomendasikan buat pecinta puisi sekaligus penyuka novel dan cerpen. Karena membaca buku ini meskipun memiliki label kumpulan puisi, serasa membaca novel utuh yang bertabur diksi cantik.

Detail Buku :

Review Buku Puisi

Judul Buku : PER[T]EMPU[R]AN
Penulis : Lenang Manggala
Ilustrator : Marien Gadea (Spanyol)
Penerbit : Kekata Publisher
Tahun Terbit :  Januari 2016
Ukuran Buku : 13x19 cm
Tebal : xii+169 halaman
ISBN: 978-602-6915-40-5
Pemesanan :
Nomor: 085731978679
Email: kekatapublisher@gmail.com
Facebook: Kekata Publisher

Penulis buku ini juga pernah kupas karyanya di Realisme Sosialis dari Imamessiah Solikhi

Tentang Penulis Buku ini :

LENANG MANGGALA
Lahir pada 13 Maret 1993 di tanah sarat mitos (Ponorogo) dengan nama asli Imam Solikhi. Menulis cerita pendek dan pepuisi. Karya-karya puisi dan cerpennya tersebar luas dalam berbagai antologi bersama. Di antaranya; Negeri Tanpa Nama, Kisaeng, Random: Payudara Sebelum Lusa, Payung Hitam, Patung yang Berdoa, dan lainnya. Ia juga beberapa kali meraih penghargaan berkat karya-karyanya yang berhasil menjadi pemenang pertama dalam berbagai ajang sayembara menulis. Di antaranya, Lomba Cerpen Tingkat Nasional NBC IPB 2013, Lomba Cipta Karya Nasional Etnikafest UGM 2015, Lomba Menulis Cerpen Remaja Tingkat Nasional Oase Pustaka 2015, Lomba Cerpen Mahasiswa Tingkat Jateng LPM UMS di tahun 2012 dan 2014, serta pemenang kedua Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional UKP Surabaya. Pernah mendapat undangan jumpa sastrawan nusantara dari Dewan Kesenian Kudus dan lolos dalam seleksi Workshop Cerpen Kompas 2015 di Bali. Sekarang sedang mulai menyibukkan diri dengan belajar dunia teater dan sastra panggung. Mengurusi Komunitas Sastra Senjanara yang sudah terlanjur didirikannya. Juga sedang berusaha sekuat tenaga untuk bisa mencintai kopi dan senja sebagaimana mestinya.
.

0 komentar:

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.