Antara Remaja dan Perkembangan Teenlite

Komunitas Penulis - Jika dulu aktivitas menulis dianggap aktivitas yang elitis dan menjadi pekerjaan beberapa orang saja yang dianggap memiliki kemampuan lebih, maka dengan berkembangnya teenlit seakan mengubah asumsi itu bahwa menulis bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk penulis pemula. Satu hal yang pantas diperhatikan dari fenomena teenlit ini bahwa novel-novel jenis ini banyak ditulis oleh para remaja putri yang masih sangat belia dan kebanyakan dari mereka adalah para penulis pemula.

Minat menulis di kalangan para remaja ini pun pantas mendapat sambutan yang hangat. Dari data penyelenggaraan sayembara menulis remaja yang diselenggarakan beberapa penerbit ternyata partisipannya diluar dugaan. Lebih banyak dari yang diperkirakan Hal ini menunjukkan bahwa antusiasme para remaja untuk menulis memang semakin meningkat.

Lihat Juga Daftar Penerbit yang menerima Naskah Pemula

Semangat Menulis Remaja

Jika dikaji lebih lanjut, fenomena ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa remaja tidak mau didekte. Dulu para remaja hanya menjadi penikmat atau menduduki posisi sebagai pembaca, dengan menerima sajian-sajian cerita dari orang yang lebih tua. Posisi pengarang yang notabene lebih tua usianya dari para remaja sebenarnya berada di luar lingkaran golongan remaja ini. Lebih tepat jika dikatakan bahwa mereka menulis dengan kacamata mereka sebagai pengamat remaja. Akan tetapi, saat ini para remaja ingin mengisahkan tentang dunia mereka sendiri.

Ada nilai lebih dari fenomena ini, bahwa remaja lah yang paling tahu tentang dunianya dan merekalah yang paling tahu cara berkomunikasi di dalam dunianya. Kreativitas mereka dalam berimajinasi tentang dunia mereka pun harus dihargai. Dengan demikian dunia perbukuan remaja akan semakin kaya dengan tema.

Selain kreatif dalam berimajinasi tentang persoalan remaja, kreativitas remaja dalam menulis juga dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam karya-karya mereka. Dari aspek kebahasaan ini pun dapat dilihat juga tentang karakter remaja yang cenderung ingin bebas dengan membentuk konvensi kebahasaan yang mereka ciptakan sendiri. Secara umum, ciri kebahasaan remaja dalam teenlit ini memang cenderung bebas. Mereka berbahasa tulis seperti bahasa lisan. Bahasa-bahasa gaul dan bahasa-bahasa tren dalam dunia remaja pun masuk dalam karya-karya mereka. Mereka juga bebas memasukkan bahasa Inggris dalam kalimat-kalimat yang berbahasa Indonesia.

Fenomena Bahasa Gaul dalam Karya


Merebaknya teenlit dari tangan para remaja dan penulis pemula ini membawa satu pertanyaan besar, yaitu darimana dan bagaimana mereka belajar menulis? Pertanyaan itu pun memunculkan pertanyaan lanjutan, yaitu apakah sekolah, mengingat para penulis ini banyak lahir dari bangku sekolah, memiliki peran terhadap kemampuan menulis yang mereka miliki. Hal ini menguatkan pendapat bahwa menulis itu sebuah ketrampilan.

Dalam motivasi menulis yang sering disampaikan dalam berbagai pelatihan menulis, belajar menulis itu seperti belajar berenang. Artinya, sebanyak apa pun teori tentang berenang dikuasai, tetapi ia tidak akan membuat seseorang pandai berenang tanpa pernah memasukkan dirinya ke dalam air untuk sering berenang. Terkait dengan masalah menulis, maka semakin sering seseorang menulis, maka semakin mahir juga ia melahirkan tulisan-tulisan yang bermutu. Hal inilah yang dilakukan oleh para penulis muda ini.

Terkait dengan peran sekolah, maka tugas guru adalah memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk menulis. Bisa jadi kesempatan itu sudah banyak diberikan, tetapi ada satu hal lagi yang menjadi permalahan budaya menulis di sekolah ini, yaitu seringkali guru tidak memberikan kebebasan kepada siswa untuk berkreasi dalam imajinasi yang liar . Para siswa seringkali dibatasi pada aturan-aturan menulis dan tema- tema yang terlalu dipaksakan, yang sebenarnya menekan kreativitas mereka. Akibatnya, tugas menulis di sekolah seringkali menjadi aktivitas yang menjemukan.

Antara Remaja dan Perkembangan Teenlite


Dalam hal ini, Indonesia dapat belajar dari budaya menulis di sekolah yang berkembang di Jepang, di mana mereka membiasakan siswa menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Guru sering memberikan tugas mengarang pada setiap pergantian musim dan setiap liburan. Pada saat-saat tertentu guru meminta mereka menulis tentang. cita-cita, impian-impian, harapan-harapan mereka di masa depan. Setelah itu, guru akan mendokumentasikan tulisan-tulisan mereka dan membukanya setelah lulus pada saat-saat reuni sekolah. Tidakkah ini menjadi aktivitas menulis yang menyenangkan? Selain itu, peran sekolah dalam hal ini adalah menumbuhkan minat baca di kalangan siswa dengan memberikan sarana-sarana, dalam hal ini buku-buku, yang memadai. Hal ini harus dilakukan mengingat budaya menulis tidak bisa dilepaskan dari minat baca. Terbatasnya buku-buku bacaan di sekolah selalu menjadi masalah klasik yang tidak pernah selesai.

Remaja memiliki kemampuan dan kreativitas imajinasi yang luar biasa untuk menulis. Memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan ide dan imajinasinya, merupakan satu langkah tepat untuk pengembangan budaya menulis di kalangan mereka. Ide-ide kreatif dengan tema yang kaya pun menjadi harapan bagi perbaikan kualitas buku-buku bacaan untuk remaja dan penjagaan produktivitas industri perbukuan di Indonesia, khususnya industri perbukuan remaja. Sinergisitas peran penulis, pembaca, dan penerbit pun sangat diharapkan mendukung keberhasilan penciptaan peradaban ini.

Lihat juga Diskusi Seputar Sastra Masa Kini

Demikian mengenai pandangan  perkembangan Teenlite dan antusias remaja masa kini. Salam Nektarity

Bahan Rujukan:
  • Kompas. Sabtu, 22 Januari 2005. Penulis Belia, Mengubah "Diary" Menjadi Novel.
    Jakarta
    ______ . Sabtu, 16 Juli 2005. Memburu Penulis di Medan Sayembara. Jakarta
    Munadi, Khairul. 2004. “Mencermati Budaya Baca Tulis Masyarakat Jepang”
    Republika. Minggu, 3 April 2005. Laris-Sepi Buku Sastra. Jakarta
    Yudhiasari, Astuti. 2005. Cupid Where are You. Yogyakarta: Gerai Pop
.

0 komentar:

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.