Pembelajaran Menulis Cerpen Sastra Kian Suram ; Sebuah Pandangan

Komunitas Penulis - Dewasa ini, pembelajaran bahasa dan sastra dalam lingkungan pendidikan khususnya sekolah kini berhadapan dengan berbagai masalah yang cukup serius. Dalam buku 'Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia' ada sebuah pernyataan yang cukup mencengangkan:
Begitu banyak guru yang terlanjur terjebak pada cara pengkajian sastra yang agak menyesatkan. Lalu, mereka menularkannya pada murid-muridnya. Maka berantailah ketersesatan dalam pengkajian sastra. Pengkajian sastra dan pemahaman terhadapnya, berkutat pada teks yang diperlakukan sebagai artefak beku, kerontang dan artifisial. Segala konsepsi tentang unsur intrinsik menjadi senjata pamungkas kekayaan-sosiokultural yang mendekam di dalam teks.

Selarik pernyataan tersebut sepertinya perlu kita diperhatikan untuk kembali mempertimbangkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengajaran apresiasi sastra di lingkungan sekolah yang ditengarai kurang apresiatif. Masalah pembelajaran sastra cenderung kurang berani menggali teks dalam konteks yang lebih luas. Padahal sangatlah mungkin mengajak pelajar/pembaca untuk dibawa ke luar dunia teks, dan dibawa masuk menyelami unsur pembangun dari luar teks yang antara lain, latar belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.

 Menulis Cerpen Sastra


Tentunya kita sepakat bahwa dalam proses lahirnya karya sastra banyak unsur yang akan mempengaruhi terutama dengan konteks masyarakat tempat dimana lahirnya karya tersebut. Dalam hubungannya dengan masyarakat, wilayah kesusastraan bisa dipandang sebagai sebuah gejala sosial yang secara langsung akan berkaitan dengan norma  dan adat istiadat yang berjalan dalam masyarakat tertentu. Gejala sosial ini diolah, direkayasa, dan dirangkaikan menjadi struktur karya yang terpadu dan memiliki nilai, makna, dan otonomi sebagai sebuah bentuk teks. Salah satu bentuk karya sastra tersebut adalah cerita pendek.

Cerpen atau Cerita pendek adalah salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa fiksi yang bentuknya relatif pendek. Namun demikian, “kependekan” sebuah cerita pendek itu tidak berarti dangkal dalam hal maknanya. Sebuah cerita pendek yang panjangnya “hanya” sekitar 3-4 halaman dapat mengandung makna yang dalam yang menghabiskan waktu berhari-hari untuk memahaminya.

Unsur-unsur pembangun cerita pendek secara garis besar dibedakan menjadi dua;
(1) unsur pembangun dari dalam berupa alur, tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa, dan tema.
 (2) unsur pembangun dari luar antara lain, latar belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.

Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin berkembang baik dari sudut pola pikir maupun pola perilaku, gejala sosial yang dirangkum oleh para penulis cerita pendek itu semakin beragam. Keberagaman ini, diwujudkan dalam berbagai bentuk kreativitas penulisan cerita pendek yang diharapkan dapat berperan dalam proses mengubah, membangun, dan mengembangkan masyarakat, termasuk di dalamnya mempengaruhi perubahan nilai, norma, dan pola bermasyarakat menjadi lebih baik.

Mereka mencoba berperan dalam perubahan sosial tersebut dengan gaya khas cerita pendek yang mereka hasilkan. Mereka secara terus-menerus mencoba melihat, mencermati, dan menganalisis dinamika sosial dan fenomena sosial yang terjadi dan sekaligus mempengaruhinya dengan ide-ide mereka yang dibungkus dalam kekuatan kata yang mereka rangkaikan.

Sebagai sebuah bangsa yang selalu melakukan perubahan tentunya perlu berkenalan dengan kebudayaan dan kesusastraan asing. Mengenal dan memahami kebudayaan dan kesuastraan asing sesungguhnya tidak sekadar menambah wawasan, membuka cakrawala baru tentang kebudayaan dan tata hehidupan di belahan dunia lain, tetapi juga melebarkan peluang terjadinya akulturasi, adaptasi, bahkan juga adopsi.  Tentunya akan melalui proses penyaringan yang disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural.

Dunia sastra banyak dipengaruhi dinamika perubahan yang terjadi dimasyarakatnya. Sisi kehidupan manusia, kesantunan sebuah masyarakat, konflik ideologi, traumatik, dan sosial ekonomi mewarnai tulisan-tulisan para pengarang di lingkungannya. Perkembangan yang terjadi dihadirkan melalui karya-karya sastra. Untuk memahami fenomena sosial yang terwujud dalam sebuah cerita pendek tersebut, perlu adanya proses apresiasi. Dengan langkah ini diharapkan pembelajar dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi. Sebagai langkah awal proses ini, diperlukannya pengenalan apresiasi di sekolah-sekolah.

Untuk memahami dinamika dan fenomena sosial yang terwujud dalam sebuah cerita pendek tersebut, diperlukan proses apresiasi. Dengan langkah ini diharapkan pembelajar dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi. Sebagai langkah awal proses ini, diperlukannya pengenalan apresiasi di sekolah-sekolah.
Sekolah, sebagai salah satu lembaga yang ada dalam masyarakat, diharapkan turut berperan dalam pengembangan masyarakat. Di lembaga ini pulalah, pengarang dengan kekhasan mereka pada karya-karya cerpennya, diperkenalkan kepada pembelajar lewat pembelajaran apresiasi sastra.

Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai beberapa tujuan di atas adalah mendorong pembelajar untuk mengapresiasi karya sastra. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana apresiasi sastra itu dapat dipergunakan pengajar untuk membantu pembelajar memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat?

Di dalam KTSP telah diketengahkan beberapa butir pembelajaran sastra yang bertujuan agar pembelajar:
(1) mampu memahami dan menghayati karya sastra,
(2) mampu menulis prosa, puisi, dan drama,
(3) mampu menggali nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam karya sastra Indonesia dan karya sastra terjemahan,
(4) mampu menulis kreatif,
(5) mampu membuat tanggapan terhadap tulisan kreatif, dan mampu membuat kritik dan esai sastra.


Sebuah alternatif usulan langkah kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan apresiasi siswa terhadap cerpen, yaitu dengan menjalani tiga langkah dalam proses pembelajarannya.

  • Langkah pertama adalah keterlibatan jiwa. 
  • Langkah kedua adalah pemahaman dan penghargaan atas penguasaan sastrawan dalam menyajikan pengalaman dalam karya sastra. 
  • Langkah ketiga adalah langkah analisis. 

 Langkah-langkah Pembelajaran Cerita Pendek


Berikut diuraikan langkah-langkah pembelajaannya.

Langkah pertama adalah keterlibatan jiwa. Dalam langkah ini pembelajar diharapkan dapat memahami masalah yang diangkat sastrawan/ penulis dalam karya sastra. Selain itu, pembelajar diharapkan dapat merasakan perasaan yang dimunculkan atau yang dialami tokoh-tokohnya sekaligus sebagai usaha membayangkan dunia yang dikreasikan oleh sastrawan. Hal penting yang perlu diketahui oleh pembelajar dalam tahap ini adalah penerapan nilai-nilai estetika sastra pada pengalaman hidup yang tertuang dalam bahasa. Dengan kata lain, tahap ini diarahkan pada pemahaman atas penerapan unsur-unsur intrinsik cerita pendek.

Langkah kedua adalah pemahaman dan penghargaan atas penguasaan sastrawan dalam menyajikan pengalaman dalam karya sastra. Pada langkah ini pembelajar diharapkan mengetahui dan memahami cara atau teknik sastrawan menerapkan asas keserasian, keutuhan, dan tekanan pada pengalamannya sehingga lahir suatu karya dan cara mereka memilih, mengolah, dan menyusun lambang-lambang yang dipakai dalam karyanya. Langkah ini memungkinkan pembelajar untuk bersikap kritis terhadap setiap karya sastra yang dihasilkan pengarang sekaligus menguji kepekaan pembelajar dalam menghubungkan dua fenomena yaitu fenomena dalam karya sastra dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat nyata.

Langkah ketiga adalah langkah analisis. Pada langkah ini pembelajar diharapkan dapat mempermasalahkan fakta-fakta yang tertuang dalam karya sastra dan menemukan hubungan fakta-fakta tersebut dengan realitas kehidupan yang ada dalam kehidupan mereka. Dalam langkah inilah nantinya, pembelajar dapat terbantu menemukan kesesuaian dunia rekaan dalam karya sastra dengan dunia nyata dalam kehidupan sekaligus memahami perubahan yang terjadi.

Lihat Juga Tatanan Sastra di Indonesia

Langkah-langkah apresiasi di atas dapat membantu pembelajar mengapresiasi secara optimal bila dalam pelaksanaannya mengikuti asas kewajaran dan keterpaduan. Asas kewajaran memungkinkan dijalaninya proses apresiasi sesuai dengan kesiapan mental pembelajar, termasuk juga dalam pemilihan karya sastra yang akan diparesiasi. Asas keterpaduan menyarankan keterkaitan langkah-langkah apresiasi yang dilakukan. Langkah-langkah itu tidak boleh dipisah-pisah karena merupakan satu kesatuan proses.

Pustaka:

Faruk, H.T. 1994. Sosiologi Sastra .Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Luxemburg, J.P,dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius
 .

0 komentar:

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.