Efek Puitik dari Karya-karya Fadhilah Yaumil

Ketika saya membaca beberapa karya Nurul Fadhylah yaumil, saya cukup terkejut. Karena beberapa tulisannya punya semacam aura yang kuat untuk mempengaruhi pembacanya.

Selarik kalimat yang membuat saya tertarik pada tulisan apiknya:

Segenggam harapan kutimbang-timbang. Sekilo kenangan kembali terlintas. Lewat loyang pengharapan, kusodorkan cinta baru untukmu.”

Bagi pembaca yang teguh, saya rasa karyanya dapat dijadikan pembelajaran kehidupan. Namun bagi pembaca yang tidak teguh dapat mengganggu pandangan matanya karena beberapa tulisannya cukup sulit dimaknai. 

Simak saja Fiksi Mini karyanya:

"Perempuan Senja"

Senja membisikkan sesuatu padaku kala sinarnya menyentuh lembut kulitku. "Rindu adalah rasa yang tidak bisa ditipu", kata senja. Aku mengerling, tak bergeming . Bagiku, kalimat itu tak asing.

Setiap kali menatap senja, aku selalu merindumu. Membayangkan kau ada di sampingku. Berkhayal kau menemaniku melihat kilatan emas itu perlahan menghilang di langit Makassar. Berharap, sejenak kau tinggalkan  perempuanmu. Hanya untukku yang dengan setia bersama senja, menunggumu.




Fiksi mini ini bagus. Dari segi diksi dan makna yang disampaikan. Sebab memang beginilah penulis yang ‘nyastra’. Tulisan yang tak harus diartikan harfiah. Sebuah bentuk halus dari gambaran perasaan, manifestasi sebuah penantian seseorang.

"Hanya untukku yang dengan setia bersama senja, menunggumu."


Kalimat inilah yang menjadi kekuatan gambaran dari penekanan his inner-self dari sang penulis. Memang kurang tuntas, but at least untuk orang-orang pembaca ‘teguh’, hal seperti ini cukup menarik. Lagipula saya cukup tahu bahwa sang penulis punya karakter yang ekstrovert.

Namun dari segi puisi, penulis ini cenderung selfish dalam menulis puisi, jarang memikirkan pembaca, apalagi sampe mikir kandungan-kandungan pesan dsb. Sebenarnya dia sudah mulai mengarah kesitu. Terlihat dari karyanya yang mulai jujur pada diri sendiri.

Simak puisinya yang ini:

Perempuan Penjahit Luka

Lelaki, atas nama kebohongan yang selalu kau dengungkan...
Atas nama luka yang dengan tabah kubalut dengan garam air mata.
Aku, perempuan yang setia menjahit tiap lubang yang kau buat,
Membasuhnya dengan kecup yang sering kau lupa...

Lelaki,
Aku perempuanmu,
Yang meski telah kau koyak kulit ini aku akan tetap setia pada kesenyapan yang kau beri.
Karena aku, perempuan yang bahkan menerima kerling matamu rela untuk menancapkan sendiri pahit di sini..
Di tempat yang kau sebut... hati.

Lelaki,
Ahhhhhh, lelaki!
Jika mencintaimu adalah luka,
Izinkan aku, perempuan yang rela perih asal itu atas namamu..
Izinkan aku hidup dalam lukamu...



Seperti tadi saya katakan, Selfish-nya begitu kental sehingga kita (pembaca) merasa ada yang mengganggu ketika membaca puisi ini. Entah itu darimana, tapi bagi saya karena efek puitisasinya masih ‘egois’. Efek puitis yang diharapkan tidak sebanding dengan panjangnya puisi. Puisi ini masih sangatlah cair (istilah kerennya "diafan"), transparan, kurang padat, kurang sintal dan seksi. Penyair haruslah "membaca" melebihi level panca indra. "hati" itu lebih dari sekedar "perasaan" tetapi juga kontemplasi.

"Yang meski telah kaukoyak kulit ini aku akan tetap setia pada kesenyapan yang kauberi."

Pada kalimat ini, saya merasa terganggu antara diksi “koyak kulit” dengan “kesenyapan”. Entahlah, pasti ada alasan khusus sang penulis memilih kata ini, namun seolah menuliskannya tanpa memikirkan bagaimana pembaca menyerap dari sebuah kalimat sebagai perenungan.


Dan benar, berulang kali saya membacanya, ternyata saya gagal menemukan emosi dimaksud. Yang saya temukan justru sebuah "cerita" yang "ganjil" meskipun penyairnya bermaksud cerita tersebut tidak menjadi ganjil dengan menambahkan sebuah lenguhan.

Tapi kembali lagi saya menemukan kegembiran pada puisinya yang lain, seperti:

Sajak untuk Cinta tanpa Batas

Cinta, aku mencari di sepanjang kesenyapanmu
Menari, tatkala senja menyapa di ujung jalan penghabisan
Menangis, tatkala hujan melunturkan semua
Sendu, tatkala pelangi tidak pernah muncul...

Walaupun malam sudah terlalu suram untuk menyemaimu bersama rindu yang hilang dibawa angin, akan tetap kukatakan bahkan kulantangkan,

Cinta, engkaulah kekasih yang telah menancapkan kagum di hatiku
Yang meskipun gores tidak pernah hilang, engkau adalah cahaya...

Cinta, yang harus engkau tahu adalah hidup bukan melulu soal kita..
Selalu ada bayangan cinta-cinta yang lain...
Kini, sudah tiba saatnya engkau bergabung bersama kunang-kunang
Yang tetap akan kupuja walaupun sinarnya tidak seelok purnama..

Cinta, aku akan tetap mencari dalam senyap...
Selamat tinggal, cinta tanpa batas-ku.



Walau banyak menggunakan kata yang masih terkesan dekoratif/hiasan belaka, namun Puisi ini mampu berbicara. Pada setiap kata, setiap kalimat, kata-kata/kalimat tertentu, atau dalam keseluruhan elemen puisi (kata-kata, frasa, kalimat, simbolisasi, bunyi, judul, bahkan "efek puitik" yang tidak dituliskan dalam puisi mampu terbangun oleh pembaca ketika membaca puisi ini.




Biodata Penulis ini:

Nurul Fadhilah Yaumil, lahir di Ujung Pandang (sekarang Makassar), 4 November 1991. Memiliki nama pena dhilayaumil dan saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Makassar. Menurutnya, sepak bola sama mengasyikkannya dengan jatuh cinta. Salah satu buku favoritnya adalah KBBI. Jika berkenan, silakan ajak dia menikmati senja dan segelas kopi.


‘Menulis adalah salah satu cara untuk mengawetkan dan menciptakan kenangan’.

0 komentar:

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.